Close

Konflik Manusia dan Harimau Bukti Perlunya Perlindungan Kawasan di Landscape Kerumutan

Jumiati, seorang karyawati PT Tabung Haji Indo Plantation (THIP) yang sebelumnya benama PT Multi Gambut Industri tewas diterkam harimau. Peristiwa mengerikan itu terjadi pada 3 januari 2018, saat wanita yang berusia 33 tahun tersebut tengah bekerja di areal perusahaan. Beruntung dua teman Jumiati berhasil menyelamatkan diri setelah memanjat pohon kelapa sawit yang ada di lokasi kejadian.

Kejadian yang menimpa Jumiati merupakan satu dari banyaknya konflik Satwa dengan manusia akibat berkurangnya ruang gerak dari satwa tersebut. Hutan yang menjadi habitat alami satwa seperti harimau kian hari semakin berkurang akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan aktifitas perambahan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung-jawab. Banyaknya perusahaan yang membuka perkebunan di kawasan hutan dengan luasan yang cukup besar serta perambahan secara masif, hanya menyisakan sedikit habitat alami bagi satwa untuk beraktifitas. Akibatnya, satwa yang terdesak karna sumber makanan dan ruang gerak yang terbatas masuk ke pemukiman dan kebun masyarakat. Alhasil, konflik satwa manusia tidak dapat dihindari.

Berdasarkan data dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), luas tutupan hutan di landscape Kerumutan terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 jumlah tutupan hutan  seluas 306.446 ha dan di tahun 2017 berkurang menjadi 287.376 ha. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun, tutupan hutan di landscape kerumutan berkurang hingga 19.070 ha (jikalahari).

Perkumpulan Elang menilai kondisi ini harusnya menjadi dorongan bagi berbagai pihak terutama pemerintah untuk serius melakukan penyelamatan terhadap hutan yang masih tersisa dan mengembalikan tutupan hutan yang telah dirambah oleh perusahaan maupun oknum masyarakat. “Kejadian yang menimpa Jumiati harusnya tidak terulang di kemudian hari jika pemerintah benar-benar serius menyikapi persoalan ini,” ujar Janes Sinaga, Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang.

Salah satu skema penyelamatan hutan yang saat ini tengah digadang-gadang pemerintah adalah program Perhutanan Sosial. Program yang dirilis pada tahun 2016 ini diharapkan mampu meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar hutan tersebut. Namun realisasi perhutanan sosial khususnya di Provinsi Riau saat ini masih sangat jauh dari target yang dicanangkan.

Sebagai salah satu lembaga yang mendukung usaha penyelamatan hutan di Provinsi Riau, Perkumpulan Elang bersama jaringan tengah mendorong pencabutan izin HPH PT. Bhara Induk seluas 48.000 ha yang berada di kawasan Landscape Kerumutan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari langkah utk mempertahankan kawasan hutan rawa gambut kerumutan dan habitat Harimau Sumatera.

Disamping itu, Perkumpulan Elang juga tengah mengupayakan percepatan realisasi Perhutanan Sosial bersama masyarakat. Salah satu usulan yang telah dikirimkan ke pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah usulan Hutan Desa di Desa Simpang Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir yang merupakan kawasan penyangga Landscape Kerumutan. “Pada tahun 2017 kita bersama masyarakat telah mengajukan permohonan izin Hak Pengelolaan Hutan Desa untuk masyarakat Desa Simpang Gaung, namun hingga kini pihak kementerian belum memberikan respon terhadap pengajuan yang kita lakukan,” kata Janes.

Mengingat landscape Kerumutan merupakan kawasan habitat Harimau Sumatera, maka usaha penyelamatannya harus dilakukan dengan cepat jika tidak ingin kejadian yang menimpa Jumiati terulang di kemudian hari. Salah satunya adalah dengan keseriusan pemerintah merespon permohonan izin pengelolaan hutan desa yang diajukan masyarakat.

Related Posts