SIAK, ELANG.or.id – Sejarah berdirinya Desa Dosan tidak diketahui tahun pastinya, dari keterangan masyarakat didapat informasi bahwa Desa Dosan sudah ada sejak masa Kerajaan Siak Sri Indrapura dan atau masa penjajahan kolonial Belanda.
Menurut Legendanya, asal mula penduduk Dosan berasal dari suku mandau yang merantau, dimana pada tahun 1930-an pendatang dari Mandau hijrah ke Dosan untuk berladang di tepian sungai. Pada saat itu ditemukan banyak pohon atau pun tanaman buah-buahan seperti Pohon Durian, Duku dan lain sebagainya. Pada masa itu desa ini diberi nama Sungai Dusun karena berada di tepian sungai.
Awalnya Desa Dosan hanya dihuni oleh tiga Kepala Keluarga (KK). Mata pencaharian pada saat itu adalah memanfaatkan hasil hutan seperti Rotan, damar, buah-buahan serta mencari ikan dan berladang dengan sistem berladang berpindah-pindah. Setelah sekian lama berkembang datanglah perantau dari Kampar yang diketuai oleh Buyung Hitam. Pekerjaan mereka pada saat itu adalah membawa karet, kopi ke Singapura dan Malaysia, mereka biasa menyebutnya “Smokel”.
Pada tahun 1950-an, Pak Buyung Hitam membuat rumah di tanjung yaitu dari ujung daratan hingga ke tengah air, yang apabila dilihat dari jauh terlihat indah.Karena belum populernya Desa Sungai Dusun, oleh para pendatang maka terjadi perubahan nama Desa Sungai Dusun menjadi Desa Tanjung Medan.
Penetapan akhir untuk penamaan Desa Dosan yaitu pada saat terbentuknya Kabupaten Siak yang pada masa itu Tengku Rafi’an sebagai pejabat sementara. Karena beliau ingin melestarikan kembali nama-nama sejarah desa terdahulu, maka terjadi pergantian nama Desa menjadi Desa Dosan yang berasal dari nama sungai, yang menurut cerita mulanya berasal dari Siak Kiri yaitu Sei Dosan ditemukan oleh seorang Hulubalang Kerajaan Siak Sri Indrapura yang bernama Dulubalang Bisai dari Desa Sungai Dusun.
Keadaan Wilayah
Desa Dosan terletak pada 0.97926412 LS dan 102.08833239 BT. Secara administrasi Desa dosan berada di Kecamatan Pusako Kabupaten Siak dengan luas wilayah sekitar 11.250 Ha, dimana sebelah utara berbatasan dengan Buton, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bunga Raya, sebelah barat berbatasan dengan Desa Benayah, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Sungai Limau.
Seperti desa-desa lain di Kecamatan Pusako, sarana perhubungan Desa Dosan dari dahulu menggunakan sampan atau perahu, baru tahun 1996 masyarakat desa dosan dapat memanfaatkan akses jalan darat. Secara Orbitasi letak Desa Dosan 2,5 Km dari ibukota Kecamatan, 26 Km dari Ibukota Kabupaten, dan 113 Km dari Ibukota Propinsi.
Secara umum tanah di Desa Dosan terbagi dua jenis tanah, dimana di daerah pemukiman cenderung tanah liat atau mineral, sedangkan untuk daerah perkebunan merupakan tanah berpasir atau gambut tipis atau biasa disebut masyarakat dengan nama Kilang manis, dengan ketinggian daerah 1 – 2 meter dari permukaan laut.
Kearifan Lokal
Komposisi etnis di Desa Dosan masih di dominasi oleh melayu, baik itu yang merupakan suku melayu asli atau perantau dari suku mandau dan kampar dengan jumlah penduduk saat ini diperkirakan berjumlah 635 orang atau sekitar 168 KK.
Sejak dahulunya masyarakat Dosan banyak bergantung pada hasil alam baik itu dari sungai siak berupa hasil tangkapan ataupun hasil bertani dan berkebun dengan cara membuka lahan di sekitar hutan di wilayah desa.
Budaya adat melayu masih tetap dipakai dalam prosesi perkawinan, selain itu juga masih terdapat kesenian kompang maupun rebana. Kearifan local dan adat istiadat mengatur mengenai hubungan social budaya dan lingkungan, yang mana pada saat ini adat istiadat yang berlaku di lakukan baik untuk acara pernikahan maupun dalam pengelolaan sumber daya alam (Hutan dan alam sekitarnya).
Adat Istiadat Nikah Kawin
Adat isitiadat dalam budaya melayu didosan dalam perihal nikah kawin terdapat urutan Sebagai berikut;
Pertama, proses cincin Tanya atau merisik yaitu diadakannya perundingan antara 2 keluarga sambil membawa cincin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Kedua, setelah proses cincin Tanya berlangsung, yang mana telah diterimanya lamaran barulah cincin tanda diberikan dan kemudian menetapkan adat istiadat yang mereka kiaskan dengan ‘anak itik sekutik-sekutik, sekutik dibawah tangga. Anak orang jangan diusik, kalau diusik antar belanja”.
Ketiga, diadakan kesepakatan antara 2 keluarga dalam hal hantaran belanja untuk pernikahan. Dan yang terakhir,
Keempat, dilakukan musyawarah hari pelaksanaan yang baik untuk pernikahan.
Pengelolaan dan Pelestarian Hutan dan Alam sekitarnya.
Pada masa dahulu sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Dosan adalah hasil hutan seperti Rotan dan Sialang, sedangkan untuk hasil perairan atau sungai adalah ikan keli atau yang sekarang disebut ikan lele dan ikan Lompong yaitu ikan gabus. Alat yang digunakan untuk menangkap ikan adalah tempiai (sejenis lukah) dan Belat bambu seperti jaring yang dibuat dari bambu (buluh). Ikan Hasil penangkapan dibarter dengan hasil pertanian seperti beras. Pekerjaan ini dilakukan hanya oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan membantu membelah rotan.
Masyarakat Melayu menggarap tanah dan membuat ladang, menanam padi jambai yang masa panen nya ±7 bulan siap panen atau sekali dalam satu tahun dengan system ladang berpindah-pindah. Pada masa ini masyarakat sudah melakukan pertanaman padi secara berkelompok selama 3 periode.
Masyarakat Melayu Dosan sangat tergantung pada hasil hutan seperti kayu dan Non kayu. Bahan kayu dimanfaatkan untuk membuat bangunan rumah dan hasil non kayu dipergunakan untuk konsumsi dan obat-obatan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat Dosan sangat bergantung dengan hutan. Aturan-aturan adat atau kearifan lokal masyarakat melayu dosan disampaikan secara turun temurun kepada anak keponakan yang dipakai dalam hubungan sosial dan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam prosesnya tidak ada sangsi langsung seperti denda atau sangsi sosial yang diterapkan namun ada rapatan adat yang memusyawarahkan penyelesaian permasalah adat yang dilanggar.
Perihal peraturan pemanfaatan hasil hutan (kayu dan non kayu) berdasarkan pada keyakinan masyarakat pada masa itu bahwa;
Akar lilit kayu;
Apabila pohon kayu yang sudah dililit akar maka tidak boleh di tebang dengan alasan bahwa pohon kayu yang telah dililit akar tersebut sudah ada hak kepemilikan atas penemu pertama pohon tersebut. Hal ini dilakukan penandaan terhadap pohon yang dapat di manfaatkan untuk bangunan /rumah. Pohon kayu yang boleh ditebang adalah pohon kayu yang belum dililit akar.
Menyemah;
Ritual yang dilakukan masyarakat untuk membuka hutan sebagai perladangan atau perkampungan. Ritual ini di tujukan untuk menghormati penghuni hutan dan agar mendapat hasil panen yang baik. Ritual ini biasanya dilakukan bersama-sama (sekelompok Masyarakat) melakukan pemotongan hewan seperti kambing yang biayanya di dapat dari sumbangan masyarakat yang akan mengolah hutan. Karena kebiasaan masyarakat melakukan peladangan berpindah-pindah maka kegiatan ini selalu di lakukan setiap tahunnya.
Hutan Tali Tanjung;
Pengistilahan terhadap Hutan larangan, Hutan Tali Tanjung dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai pelindung dan mempunyai nilai mistis atau dianggap angker sehingga Hutan dan satwa di dalamnya terjaga.
Bagi masyarakat melayu, Hutan Tali Tanjung bernilai sebagai;
1. Sebagai pelindung dari angin; Perkampungan orang melayu dahulunya berada di pinggiran hutan sehingga orang melayu beranggapan bahwa jika hutan dihabisi maka bangunan rumah yang dibangun seadanya pada masa itu akan terbang ditiup angin kencang dikarenakan tidak ada pohon pelindung.
2. Sebagai Nilai mistis; Hutan Tali Tanjung dianggap angker karena dipercayai oleh masyarakat tempat beradanya makluk halus atau hantu hutan dan binatang buas.
Saat ini terdapat hutan seluas 400 Ha yang disisakan oleh masyarakat sesuai dengan kesepakatan bersama yang kuatkan dengan adanya Peraturan Desa No.VI/Perdes/VII/2011 tentang Pengelolaan sumber daya Hutan kelola Masyarakat danau Naga Sakti Desa Dosan. Adapun alasan untuk mempertahankan hutan adalah awal kehidupan masyarakat berasal dari hasil hutan dan juga sebagai kawasan konservasi desa yang berfungsi sebagai kawasan tangkapan air. Hutan lindung tersebut berada di Danau Naga Sakti, sebelah timur Desa Dosan.
Mengenai asal usul danau ini masyarakat mendapat informasi dari desa pebadaran, bahwasanya pada masa dahulu di desa perbadaran ada seorang wanita yang melahirkan anak berwujud seekor ular. Anak tersebut dipelihara hingga tumbuh besar. Masyarakat desa sudah mulai resah dan takut anak yang berwujud seekor ular tersebut membahayakan warga nantinya. Maka orang tua si anak itu pun menyuruh anaknya untuk pergi dari desa. Anak ini akhirnya pergi ke danau dan bertempat tinggal di danau.
Sang Orang Tua pernah bermimpi, jika ingin bertemu dengan anaknya, sang orang tua nya disuruh mengunjungi anaknya di tepian danau.
Sejak itu oleh masyarakat danau ini diberi nama Danau Naga Sakti, yang memiliki arti anak manusia berwujud ular yang sakti; karena ular tersebut pergi mencari danau untuk tempat tinggal.
Masyarakat Dosan saat ini telah melakukan upaya untuk melestarikan hutan dan danau. Oleh karena itu pada tahun 2004 masyarakat pernah mencoba melestarikan danau ini dengan menjadikannya objek wisata alam yang dimulai dari bantuan karang taruna tetapi hasilnya tidak memuaskan karena tidak adanya dukungan dari Pemerintah Desa dan Pemerintah Kabupaten. Sekaligus juga masyarakat banyak yang belum mengerti dan mengetahui bagaimana cara mendapatkan dukungan menjadikan kawasan Danau Naga Sakti itu sebagai kawasan wisata alam.
Adapun larangan yang dibuat oleh masyarakat Dosan mengenai danau dan hutan ini adalah Hutan yang berada di sekeliling danau seluas lebih kurang 400 Ha tersebut tidak boleh diambil hasilnya ataupun dibuat menjadi kebun, perladangan, pertanian maupun perkebunan.
Masyarakat Desa Dosan berharap ada dukungan pemerintah agar mempertahankan kawasan Hutan naga sakti sebagai kawasan konservasi dan dijadikan kawasan wisata alam yang nantinya mempuyai nilai ekonomi bagi masyarakat tempatan.(jay)