Close

Alarm Krisis Iklim di Provinsi Riau Sempena Hari Lingkungan Hidup Sedunia

5 Juni diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia setiap tahunnya sejak Konferensi Stockholm di Swedia tahun 1972. Hari Lingkungan Hidup menjadi momentum untuk mengingatkan kita bahwa persoalan lingkungan perlu menjadi perhatian serius demi keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Krisisi iklim pada hari ini tidak lagi menjadi isu yang jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Akhir-akhir ini kita sering merasakan cuaca yang tidak menentu, temperature udara yang semakin memanas, musim hujan yang tidak teratur hingga persoalan banjir rob di wilayah-wilayah pesisir yang semakin sering terjadi. 

Provinsi Riau juga tidak luput dari persoalan krisis iklim yang semakin nyata, terutama di wilayah-wilayah pesisir. Riau memiliki luas wilayah pesisir yang signifikan, dengan panjang garis pantai sekitar 2.713 km. Sebuah penelitian menyebutkan abrasi yang tidak terkendali menyebabkan perubahan garis pantai yang sangat signifikan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 2021 menyebutkan pantai Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir mundur 25 meter setiap tahunnya akibat abrasi ekstrem. Fenomena perubahan iklim memperparah abrasi di wilayah-wilayah pesisir. Di Desa Selat Baru, Bengkalis, 20% wilayahnya hilang akibat abrasi. Menurut LIPI 2020, Pulau tebing Tinggi, Kepulauan Meranti terancam tenggelam dalam 30 tahun ke depan. Hal ini terkait dengan kenaikan permukaan air laut, intensitas badai yang semakin sering dan lebih kuat, perubahan pola arus laut dan gelombang hingga ekosistem mangrove yang terdegradasi.  Semua kondisi ini adalah gambaran bahwa krisis iklim semakin nyata hari-hari ini dan semakin dekat dengan kehidupan kita.

Di samping persoalan abrasi, pesisir Riau juga menghadapi intrusi air laut yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Intrusi air laut terjadi akibat naiknya permukaan air laut dampak dari krisis iklim. Kebun kelapa masyarakat di Indragiri Hilir terpapar intrusi air laut yang menyebabkan kelapa mati hingga 100.000 hektar. Di Desa Sungai Bendung, Desa Pasir, Kecamatan tanah Merah 1.500 hektar pohon kelapa rusak parah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) tahun 2020 menyebutkan sawah di Kecamatan Batang Tuaka, Inhil berkurang produksinya akibat intrusi air laut dan garamisasi wilayah pertanian. Keadaan ini tentu dirasakan dampaknya secara langsung oleh masyarakat. Masyarakat yang menggantungkan penghasilannya pada sektor pertanian di wilayah pesisir terpaksa kehilangan sumber pencarian akibat dampak dari krisis iklim yang semakin nyata. Bukan hanya Rokan Hilir dan Indragiri Hilir yang merasakan dampak krisis iklim. Secara merata, pesisir timur Provinsi Riau menghadapi dampak yang sama dan semakin mengkhawatirkan. Studi Universitas Riau tahun 2021 menyebutkan terjadi krisis air bersih di Kepulauan Meranti akibat intrusi air laut. Dinas Kelautan Riau tahun 2020 mencatat Desa tanjung Peranap, Meranti kehilangan 30% hasil tangkapan ikan akibat kerusakan terumbu karang.

Fenomena dan kondisi yang dialami masyarakat pesisir Provinsi Riau hari ini adalah akumulasi dari persoalan lingkungan yang menyebabkan krisis iklim. Sempena peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun ini, pemerintah Provinsi Riau perlu mengambil langkah segera menyelamatkan masyarakat pesisir yang terdampak langsung. Langkah-langkah mitigasi maupun adaptasi perlu dilakukan. Pemerintah Provinsi Riau perlu menetapkan persoalan lingkungan sebagai prioritas karena menyangkut keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.

Setidaknya ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan pemerintah guna menhadapi persoalan ini. Pertama, Melakukan pemulihan ekosistem-ekosistem penting yang telah terdegradasi. Lahan gambut yang rusak perlu dipulihkan dengan melakukan rehabilitasi, salah satunya dengan penanaman pohon kembali, menjaga gambut tetap basah dengan sekat kanal dan lain-lain. Ekosistem mangrove, sebagai benteng wilayah pesisir yang telah rusak juga perlu dipulihkan. Perlu langkah-langkah inovatif agar program penanaman ekosistem mangrove dapat berhasil. Pemerintah Provinsi dapat mengeluarkan kebijakan dan dukungan anggaran yang mendukung langkah-langkah ini.

Kedua, pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu dengan mengntegrasikan berbagai aspek termasuk lingkungan, sosial dan ekonomi. Model adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dikembangkan. Pemerintah daerah perlu mencarikan solusi alternatif penghasilan bagi masyarakat yang terdampak mata pencariannya akibat perubahan iklim. Model-model pertanian yang adaptif, bibit tanaman yang memiliki daya tahan terhadap paparan air laut perlu dikembangkan.

Ketiga, Pemerintah daerah perlu mengembangkan kelembagaan dan kelompok-kelompok masyarakat yang turut andil dalam upaya perlindungan ekosistem mangrove. Keterlibatan masyarakat dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu didorong. Hal ini dapat meningkatkan resiliensi komunitas masyarakat terdampak iklim agar lebih tangguh dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Keempat, pemerintah daerah perlu mendorong peran para pihak untuk turut andil dalam upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Pemerintah daerah dapat mendorong peran pihak swasta untuk secara sukarela berkontribusi dalam upaya-upaya rehabilitasi maupun pengembangan ekonomi masyarakat yang lebih tahan terhadap krisis iklim. Peran akademisi juga dibutuhkan, terutama dalam melakukan kajian-kajian yang mendukung upaya ini. Akademisi dapat melakukan kajian potensi dan peta kerentanan wilayah pesisir Riau yang perlu penanganan segera. Kajian-kajian ini bisa menjadi pondasi ilmiah dalam menentukan kebijakan dan program yang lebih tepat sasaran.

Kelima, perlu mengintegrasikan seluruh kebijakan yang ada di level provinsi dan kabupaten yang berkaitan dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Beberapa kabupaten telah memiliki inisiatif-inisiatif yang mendukung upaya ini. Misalnya, Kabupaten Siak dengan kebijakan Siak Hijaunya, Kabupaten Pelalawan dengan Pelalawan Sejuknya, Bengkalis juga tengah menyuyun kebijakan Bengkalis Lestari. Kebijakan-kebijakan ini perlu disinergikan dan diintegrasikan terutama dengan kebijakan level provinsi agar saling mendukung dan menguatkan implementasi di lapangan.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun ini harus dijadikan momentum untuk melakukan perubahan dan langkah menghadapi krisis iklim yang semakin nyata terjadi di Provinsi Riau.

“ditulis oleh Besta Junandi, Direktur Perkumpulan Elang”

Related Posts